Buku Edgar Allan Poe yang berjudul Kisah-kisah Tengah Malam adalah sebuah misteri bagiku. Aku hanya berani membaca bab pertama lalu langsung menyerah. Rasanya, aku tidak sanggup untuk meneruskan kisah kematian dan penyiksaan yang bertubi-tubi yang ada di dalam cerita itu. e
Aku memang selalu menggilai kisah misteri. Meskipun, kisah misteri sampai kini masih menjadi momok dan ketakutan di dalam batin. Apalagi, kisah kematian kakakku di sekolah adalah salah satu yang paling gila yang pernah aku lihat.
Bagaimana mungkin seorang anak SMP mati gantung diri di ruangan peralatan olahraga sekolah? Masalah apa yang sekiranya menghantui anak sekecil itu sehingga memutuskan untuk bunuh diri? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menggangguku selama sepuluh tahun. Tak berhenti meneriaki pikiran dan hati sampai rasanya terasa berat dan mengganggu.
Aku sudah mengunjungi psikiater untuk sekedar meringankan isi kepala. Katanya, aku tertekan dengan kematian kakakku. Tentu, kalau sebatas itu aku juga sudah tahu. Katanya juga, aku mungkin terkena depresi tingkat menengah karena kehilangan sosok kakak dengan cara seperti itu.
Daripada merasa kehilangan, aku lebih merasa heran. Aku penasaran setengah mati dengan alasannya bunuh diri. Kami adalah keluarga yang sederhana. Ayah dan ibu yang normal dengan interaksi biasa layaknya pasangan lain yang ada di bumi ini.
Ayah bekerja sebagai debt collector dan ibu sebagai penjaja kue. Kami sering terpaksa makan kue sisa yang tak habis terjual. Biasanya, kue seperti ini sudah ada jamur-jamurnya meski hanya sedikit. Ketika protes saat makan kue berjamur, biasanya ibu akan menjawab, “Kau mau makan atau tidak? Kalau tidak aku akan membuangnya, sehingga kau tidak akan punya makan malam.”
Aku pun makan kue berjamur itu meski enggan. Sepertinya, insting bertahan hidupku sudah aktif sejak dini sehingga tak masalah meski harus makan sisa pelanggan. Kakakku adalah sosok yang cukup sensitif. Ia akan memilih kelaparan dibandingkan makan kue berjamur seperti itu.
Sehingga, ia sering tidak makan malam. Badannya sudah kurus dan tulang selangkanya cukup menonjol sehingga terlihat dari balik seragam sekolahnya. Seingatku, ketika ia mati adalah satu-satunya waktu di mana ia memilih untuk makan kue berjamur di malam harinya.
Karena novel detektif, aku pernah berpikir tentang kemungkinan ia mati dibunuh oleh orang lain. Apakah mungkin jika ia mati karena perselisihan antara teman? Memangnya perselisihan macam apa yang membuat anak SMP jadi sangat murka lalu membunuh lawannya?
Atau mungkin ia meninggal karena kue berjamur? Mungkin saja perutnya tidak tahan untuk mencerna berbagai makhluk mikroorganisme yang ada di dalamnya sehingga ia jadi gila dan akhirnya memutuskan untuk jadi mayat selamanya.
Karena rasa penasaran, aku pun pernah menggeledah kamarnya. Mungkin saja aku akan menemukan sebuah buku diary di mana ia menyimpan sebuah nama musuh di sekolahnya. Kalau sudah menemukan namanya, mungkin aku akan merencanakan balas dendam yang pelan dan senyap agar ia mati dengan cara yang sama.
Kamarnya adalah ruangan yang kosong dan hampa, sama seperti cerminan dirinya. Ia tak suka membeli barang sehingga kamarnya terkesan rapi karena tak ada barangnya yang berantakan. Di sudut kamarnya, hanya ada dipan untuk kasur single bed. Lalu di dekat kasur, ada lemari kayu tua yang berjengit kalau pintunya dibuka.
Ia sama sekali tidak memiliki hobi, kesukaan, atau mainan favorit. Makanya, aku tidak heran kalau sekarang hasilnya nihil. Tak ada buku diary, hanya ada buku tulis sekolah yang juga kosong karena ia sama sekali tidak mengerjakan tugas sekolah atau mencatat pelajaran.
Namun, setelah mencari setengah mati, bahkan sampai ke buku pelajaran sekolahnya akhirnya aku mendapat satu nama. Nama ini entah apakah akan jadi tersangka atau hanya sebatas saksi mata. Yang penting aku akan mengintai nama ini sampai ujung dunia: Gani.
Di waktu itu, aku hanya selisih satu tahun dengan kakakku yang mati, sehingga mencari nama Gani di sekolah masihlah sangat mudah. Rupanya, Gani adalah sosok nama teman sebangku kakakku. Pantas saja, nama Gani ada tertulis di belakang buku sekolahnya. Mereka nampak seperti sedang bertukar pesan di tengah pelajaran yang membosankan.
Mau ke kantin?
Gak dulu, aku sedang sekarat.
Aku yang bayar
Gak lah. Biar aku makan kue basi di rumah
Agaknya ini adalah percakapan terakhir sebelum kakakku makan kue berjudul untuk menu makan malam lalu meninggal tergantung di ruang peralatan olahraga keesokan harinya. Yah, percakapan seperti jadi tentu tidak bisa dijadikan bukti kasus pembunuhan. Hanya ajakan ke kantin di tengah jam pelajaran sekolah. Obrolan yang sangat biasa. Tidak bisa dijadikan petunjuk.
Gani rupanya adalah teman sebangku yang cukup baik dan perhatian. Dengan sekali pandang saja, ia langsung menghampiriku dan mengucapkan belasungkawa. Ia berkata panjang lebar, tentang betapa baiknya kakakku di kelas dan betapa hancur hatinya ketika tahu berita itu.
Gani cukup ganteng, dengan rambut pendek ala cowok pada umumnya. Tahi lalat di bawah mata kirinya membuat wajahnya jadi terasa spesial dan mudah dikenali. Kalau ia melakukan pembunuhan di masa depan, aku bisa menjamin banyak saksi yang akan mengingat mukanya hanya dengan sekali lihat. Wajah seperti ini akan meninggalkan bekas dan memori di dalam benak.
Lambat laun kami makin dekat. Akhirnya, ketika kami sama-sama kuliah di tempat yang sama, kami akhirnya berpacaran. Kami saling berkunjung dan hari ini Gani akan bermain ke rumahku, rumah sahabat lamanya yang kini sudah jadi almarhum.
Rumah sepi karena ibu sedang berjualan kue dan ayah sedang menagih hutang manusia-manusia tidak beruntung seperti kami. Gani masuk ke dalam rumah sederhana, yang hanya punya sofa usang di ruang tamu yang juga jadi ruang makan.
Dia duduk di atas karpet hijau dan melirik kue basi di atas meja. Awalnya, aku hanya geli melihat ekspresi kagetnya. Namun, ekspresi itu, bukan hanya terkejut, melainkan juga paranoid dan takut.
Karena khawatir, aku akhirnya bertanya,”Kenapa, Yang? Adakah yang mengganggu benakmu?”
Ia menggeleng enggan dan menjawab, “Tidak, tidak kenapa-kenapa.” Itu adalah jawaban penyangkalan atas keengganan menjawab, bukan karena tidak ada apa-apa.
Akhirnya, aku menganggap itu tidak apa-apa dan masuk ke dalam kamar untuk berganti baju dan menauh tas.
Kembalinya dari kamar, aku melihat kue basi menu makan malam kami sudah berkurang satu. Aku melirik Gani yang hanya menatapku dengan tatapan kosong. Wajah manis dengan tahi lalat di mata kirinya kini hanya jadi hiasan, seperti patung, seperti raga tanpa jiwa. Mungkin kue basi sudah membawa jiwanya pergi jauh ke antah berantah.
Entah kenapa, aku tidak terkejut. Tidak pula khawatir. Aku hanya menyuruhnya pulang karena apapun yang sudah terjadi tak bisa lagi diulang. Aku tak bisa memintanya mengembalikan kue basi untuk kembali utuh.
Esok malam, aku mendengar berita kematian saat makan kue basi, menu makan malam keluarga kami.
0 Comments
Post a Comment