Saya baru aja ngelarin satu film dokumenter di Netflix, Seaspiracy. Durasinya yang cukup panjang yakni 1,5 jam namun terasa begitu sebentar karena alurnya yang begitu padat. Pembuat filmnya melakukan begitu banyak wawancara dan penelusuran demi menemukan biang kerok dari rusaknya ekosistem laut kita. Uuuuh, seru!
Seaspiracy, Ancaman Polusi dari Plastik
Sesuai dengan namanya, tujuan dari film ini adalah menguak pelbagai macam penyebab rusaknya ekosistem laut. Salah satu hal yang diungkap di awal film adalah tentang sampah plastik. Ia bercerita tentang banyaknya sampah plastik di pinggir pantai, mulai dari botol minuman dan sedotan plastik.
Foto penyu yang tertusuk hidungnya karena sampah sedotan plastik menjadi viral dan efeknya adalah gerakan anti sedotan plastik jadi menggema di seluruh dunia. Saat menonton bagian awal ini, seketika aku langsung merasa bersalah karena baru saja beli sayur lodeh pakai plastik double, aih. Pikiranku waktu itu adalah segera merencanakan untuk beli sayur matang pakai mangkuk plastik. Gak apa-apa Tupperware kena kuah sayur lodeh, daripada merasakan kiamat lebih cepat.
Seaspiracy, Ancaman dari Fishing Industry
Masuk ke bagian tengah film, penulis filmnya menunjukkan faktor lain yang jadi biang kerok dari rusaknya ekosistem laut secara signifikan, yakni aktivitas penangkapan ikan secara komersial dari kegiatan Fishing Industry. Limbah dari kegiatan penangkapan ikan berupa jala pukat harimau yang super besar menjadi salah satu mayoritas sampah plastik yang ada di lautan. Jala ini bukan hanya jadi sampah, tapi juga menjebak banyak hewan laut, walaupun fotonya nggak seviral penyu yang tertusuk sedotan plastik.
Sang penulisnya langsung melakukan liputan ke negara Jepang untuk melihat bagaimana masifnya penangkapan ikan laut dengan menggunakan kapal besar dan teknologi yang canggih. Ia menyebutnya alat pembunuh. Untuk bisa merekam kegiatan penangkapan ikan, ia mesti sembunyi-sembunyi dari otoritas setempat. Kegiatan ini dilindungi banyak pihak sehingga cukup berbahaya untuk melakukan liputan secara terang-terangan. Banyak data mengerikan yang diungkap dalam segmen ini, misalnya saja betapa banyaknya lumba-lumba yang ditangkap lalu dibunuh dengan alasan hama.
Tujuan penangkapan mereka biasanya adanya ikan tuna. Nah, untuk memenangkan persaingan penangkapan ikan tuna, manusia jelas akan menekan predator tuna. Dengan kata lain menekan populasi ikan besar seperti lumba-lumba. Akan tetapi, hal yang membuat penulis filmnya cukup kesal adalah adanya label ‘Dolphin safe’ pada kaleng tuna komersial padahal nyatanya adalah sebaliknya.
Seaspiracy, Ancaman dari….Kamu
Setelah nonton Seaspiracy, saya memang mendapatkan banyak manfaat, salah satunya adalah bisa bragging sama suami bahwa saya nggak cuman nonton drakor doang di Netflix. Setelah mengabaikan ribuan film lain dna cuman mantengan drakornya, saya baru sadar ada begitu banyak film dokumenter yang bagus-bagus di aplikasi ini.
Sekarang, saya lagi mantengin film dokumenter tentang jatuhnya pesawat MH 370. Iya, pesawat dari Malaysia yang terbang tapi dinyatakan menghilang tanpa ada keterangan yang jelas tentang nasibnya. Jalurnya melenceng dari rute sehingga ada dugaan bahwa pilotnya mungkin merencanakan bunuh diri massal bersama penumpang. Saya baru nonton di episode 1, jadi baru sampai di analisis ini.
Btw, Seaspiracy masih membahas satu lagi faktor yang jadi penyebab rusaknya ekosistem laut di akhir film. Malahan ini adalah penyebab paling ekstrim, dan tentunya kamu mesti langsung nonton sendiri di rumah weekend ini.
Ketimbang akhir pekan cuman mantengin Twitwar super panjang yang tak ada usainya itu, mending nonton aja. Hitung-hitung supaya kamu, aku, dan kita agak lebih peduli sama lingkungan sendiri dan bersyukur dengan adanya makanan yang ada di dalam tudung saji. Supaya kita bisa lebih memanfaatkan Tupperware emak di dalam lemari. Daripada berdebu, mending dipakai untuk belanja makanan matang agar penggunaan plastik berkurang.
0 Comments
Post a Comment