Pada suatu zaman, hiduplah seekor dinosaurus yang suka makan daging tapi tak bsia berburu sendiri. Ia merasa tak tega kalau harus menggigit mangsanya dengan giginya sendiri. Rasanya seperti menjadi pembunuh yang tak berperikemanusiaan. Ia tak suka dengan sensasi darah merah yang muncrat ketika leher mangsanya robek.
Akibatnya, kebutuhan makanannya tidak bisa ia penuhi sendiri. Ibunyalah yang selalu berburu untuk Dinido, si dinosaurus pemakan daging yang tak bisa berburu.
“Mau sampai kapan kamu mau seperti ini, Dinido? Kau harus belajar untuk berburuk sendiri. Ibu tak selamanya kana hidup menemanimu. Kau sudah beranjak dewasa. Ekormu sudah 10 meter panjangnya. Sebentar lagi kau akan merasakan hasrat kawin dan tentu saja kau juga harus berburu untuk anak dan pasanganmu kelak.”
Dinido yang mendengar omelan ibunya yang serba panjang itu jelas menjawab dengan kesal,” Bukannya aku ingin bersantai dan tidak berburu seperti dinosaurus lain. Aku juga ingin berguna, Bu.”
“Kalau begitu, ayo kita mulai belajar berburu lagi seperti dulu. Ibu akan menemanimu pelan-pelan. Seperti dulu.” Ibu Dinido masih berusaha untuk menawarkan solusi masuk akal atas keengganan Dinido untuk berburu.
Pikiran Dinido kembali melayang. Ia berusaha mengingat kembali memori yang tak menyenangkan saat ia pertama kali berburu bersama ibunya di masa anak-anak. Dengan tubuh kecil, Dinido menggigit leher hewan lain yang serba merah. Semburat darah yang muncrat ke mana-mana menjadikan wajahnya basah. Ia tak bisa melihat karena tertutup cairan merah di matanya. Dinido kecil berteriak jengah, tapi sang ibu tidak mendengar karena sedang asyik makan bersama Dinosauru lain. Tubuh itu masih hangat, hewan ini belum sepenuhnya mati karenanya darah merah terus-menerus bercipratan ke mana-mana.
Dinosaurus lain sepertinya tak keberatan untuk makan daging dengan semburat merah di wajah. Tapi, Dinido jijik. Ia pergi dari pesta makan siang dan memilih bermain di pinggir sungai yang jernih.
“Aku tak ingin berburu selamanya meski itu artinya aku harus mati.” jawan Dinido lalu pergi meninggalkan ibunya yang terkejut.
—
Dinido sedang berada di rumahnya saat itu, tepatnya ketika kabar sedih tentang kepergian ibu Dinido untuk selamanya. Kisah lengkapnya sang ibu berburu seperti biasa. Karena ingin membawakan daging yang banyak ke rumahnya, Ibu Dinido mengincar mangsa herbivora yang cukup besar, lebih besar dibandingkan ukuran tubuhnya sendiri. Dinosaurus pemakan daun itu seperti biasa sedang memakan daun di pucuk pohon dengan khidmat. Ibu Dinido bersiap untuk menerkam lalu terpeleset kotoran super besar dari herbivora raksasa pemakan daun.
Di momen ini, semua herbivora raksasa langsung ikut terkejut melihat ada dinosaurus pemakan daging yang terjatuh di dekat tempat makan mereka. Dinosaurus raksasa herbivora berlarian tak karuan dan menginjak Ibu Dinido sampai nyawanya lepas, tak bersisa.
Dinido bersedih dengan amat sangat. Ia terpekur di rumah gua sendirian, menatap pojok gua yang gelap di sebelah kanan, tempat tidur favorit sang ibu. Kini gua yang besar itu terasa makin lengang dengan kepergian sang ibu. Dinido ingin tidur. Hanya tidur untuk mengubur perasaan luka yang mendera hatinya. Tidur… yang panjang. Amat panjang.
…
Sudah tiga minggu Dinido tidur di gua. Perutnya yang lapar terus menerus berbunyi tanpa ampun. Dinido masih bergeming. Ia tetap diam di tempat tak peduli rasa lapar sampai terasa di kepalanya. Badannya lemas, tenggorokannya terasa seperti tercekat dengan erat. Tetangganya Denada, dinosaurus pemakan daging dengan jenis lain, bertanya apakah Dinido butuh bantuannya.
“Dinido, kau harus bangun. Kau butuh makan. Tak ada lagi ibu yang akan mencarikan makan untukmu.”
Dinido membuka matanya. Denada terlihat lezat. Rasanya, ia ingin menelan Denada dalam sekali hap. Tapi, ia menahan diri setengah mati. Bisa-bisanya ia punya keinginan memakan Denada, satu-satunya makhluk kadal yang peduli dengan dirinya. Bisa-bisanya.
Dinido menjawab dengan lemas, “Aku tak ingin makan. Kau pergi saja dan kembali ke rumah. Tutup pintumu karena sekarang aku sangat lapar bahkan bisa memakanmu.”
Denada terkejut dengan jawaban Dinido yang malah bernada ancaman. Denada memang adalah jenis dinosaurus berbadan lebih kecil, Dinido jelas bisa mengahabisinya dengan sekali gigitan. Denada jelas ketakutan, ia berlari menuju rumahnya.
Keesokan harinya, rumah gua Dinido masih seperti biasanya. Tak ada tanda-tanda bahwa Dinido pernah keluar dari sana. Denada dengan modal nekat dan sedikit gila, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya untuk mengunjungi Dinido sekali lagi. Kali ini, ia membawa sisa makan paginya berupa daging binatang kecil. Ia tak tahu apakah Dinido mau menerimanya atau tidak. Atau malah Dinido sudah sekarat dan mati mengerut karena kelaparan di ujung gua.
Denada melihatnya sedang berbaring seperti biasanya. Namun, kali ini Dinido tak lagi terlihat lemas, ia terlihat sekarat. Ia tak lagi mengatakan kata-kata tak berguna dengan lambat, tapi ia benar-benar diam. Bibirnya yang besar kini berkerut karena kekurangan nutrisi. Denada memutuskan untuk menyuapi air yang banyak di bibir Dinido sebelum memberinya makan.
Dengan telaten, ia menyuapi air dari mulutnya ke mulut Dinido. Sekali lagi, air lagi, sekali lagi, air lagi, begitu terus sampai Dinido membuka matanya. Setelah itu, Denada menyupi Dinido dengan makanan yang ada. Ia menyuapi dengan mulutnya sendiri, sesuap demi sesuap, daging demi daging, sampai habis tak bersisa.
Dinido kini sudah mulai bisa bertingkah. Ia tersenyum berterima kasih. Rasanya seperti terlahir kembali. Tapi, ia tak puas. Ia masih lapar. Ia ingin daging lagi. Denada terlihat lezat, tapi secara moral mana bisa ia memakan penyelamatnya. Tapi. perutnya tak puas dengan daging yang hanya sejumput itu.
Bagaimana ini, pilihan apa yang Dinido punya?
0 Comments
Post a Comment