Baru-baru ini emak ku mampir ke rumah karena tentu saja karena kangen sama cucunya, bukan sama anaknya, hiks. Btw, di sini aku sama emak cerita banyak soal persoalan rumah tangga di zaman dulu dan sekarang. Persoalan pembagian pekerjaan rumah, pembagian tanggung jawab keuangan, dan tentu saja porsi untuk mengurus anak.
Revolusi Rumah Tangga
Kemarin baru aja saya melihat postingan tentang adanya survei bahwa Gen Z akan jadi generasi yang memiliki pernikahan paling memuaskan dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Gen Z disinyalir menjadi generasi yang mengedepankan komunikasi dalam rumah tangga, perkembangan pribadi, dan kestabilan emosional, sehingga kepuasaan dalam rumah tangga menjadi meningkat.
Emak ku, sebagai generasi X awal, juga menuturkan betapa hebatnya menantunya yang mau bersedia jaga anak serta cuci piring. Dia juga kagum lihat suamiku yang bisa gendong anak sekaligus menggantikan popoknya tanpa bantuanku sama sekali. “Enak ya, suami bisa ngurus rumah bareng-bareng.”
Aku sebagai istri tentu saja merespon dengan datar, “Wong ya bikin anaknya barengan, ya ngurusnya juga barengan lah.” Respon yang tentunya aku sebutkan hanya di dalam hati.
Kata-kata yang terucap adalah, “Yah, namanya juga sudah beda generasi, mak. Sudah beda pemahaman.”
Tidak bisa dipungkiri, budaya patriarki memang melekat erat di rumah tangga zaman lampau. Pembagian kerja rumah tangga (mengurus anak, masak, dan membersihkan rumah) yang menitikberatkan pada perempuan serta membuat laki-laki menjadi pemimpin dominan dalam pengambilan keputusan serta penguasaan properti membuat silent konflik yang mungkin tak lagi bisa dibendung pada generasi sekarang.
Yah, pada dasarnya aku gak anti patriarki kok. Banyak rumah tangga patriarki, di mana sosok laki-lakinya menjamin kesejahteraan anggota keluarga lainnya. Tanpa diminta ia memenuhi kebutuhan, hak, serta melindungi anggota keluarga dengan baik.
Namun, pada prakteknya, kekuasaan yang dominan biasanya berbuntut pada kesewenang-wenangan, contoh skala besar adalah adalah Kim Jong Un dan Korea Utara yang punya pemerintahan absolut dan super dominan. Contoh lainnya adalah kasus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik verbal, seksual, bahkan fisik.
Perempuan dan anak menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban karena lemahnya posisi di dalam rumah tangga. Tak punya penguasaan properti, uang, bahkan kebebasan untuk sekedar mengutarakan pendapat.
Kasus seperti ini sering banget terjadi. Ketika laki-laki yang selingkuh, perempuan seolah menjadi pihak yang salah karena tidak bisa menjaga suami. Akhirnya, sebagai pihak yang dianggap salah, istri dipaksa bertahan menelan kepedihan, agar rumah tangga senantiasa langgeng, agar anak tetap punya ayah (walaupun kelakuan macam badak), agar anak tetap bisa sekolah dan makan. Hiks, sedih.
Sebagai ibu yang juga punya anak perempuan, tentu harapanku adalah ia bertemu dengan laki-laki baik dan bahagia sampai mati. Tetapi, kalau emang hidupnya harus tersandung, harapanku adalah ia bisa berdiri dengan kakinya sendiri, tak perlu mengorbankan perasaan untuk laki-laki macam badak yang tak tahu diri. Kalau memang sudah kelewat batas, lepaskan saja. Tak perlu dipertahankan.
Pendidikan pada perempuan yang meningkat menjadi salah satu solusi dari rumah tangga yang lebih dinamis dan harmonis. Sebagai pemimpin rumah tangga, laki-laki dan perempuan sudah sewajarnya saling berdiskusi, saling memahami, sehingga selalu ada solusi dalam setiap masalah. Porsi pembagian kerja di rumah, porsi mengurus anak, tanggung jawab soal keuangan, bisa didiskusikan dan direncanakan bersama.
Drakor Tentang Rumah Tangga
Contoh sempurna permasalahan rumah tangga yang cukup patriarki lengkap dengan mertua yang super rese bisa ditonton lewat drama korea yang lucu berjudul Dr.Cha. Slow aja, dramanya fun dan santai kok. Di sini, Dr. Cha adalah seorang ibu yang terpaksa berhenti jadi dokter demi bisa mengurus anaknya di rumah.
Kehidupannya jadi jungkir balik karena persoalan sakit lever (kalau gak salah) dan harus segera menerima donor. Suaminya yang menolak jadi donor menjadikan dokter Cha ingin jadi ‘egois’ dengan kembali bekerja jadi dokter. Seru dah!
Permasalahan yang terjadi bukan hanya pada Dr. Cha dan suami, tapi juga pada anaknya yang sedang menghadapi ujian sekolah dan ujian masuk universitas. Kompleks!
Kalau mau menikmati drama korea dengan permasalah rumah tangga yang cerai karena komunikasi bisa tuh menonton Go Back Couple. Drama ini bikin mewek banget sih, karena sangat relate sama permasalahan rumah tangga sehari-hari. Salah satu pesan yang aku masih ingat sampai sekarang adalah tentang kurangnya menghargai kebaikan pasangan. Kadang kita menganggap bahwa kebaikan pasangan adakah sebuah hal yang lumrah. Padahal ya tiap kebaikan dan perhatian harus kita balas, minimal dengan ucapan terima kasih. Yah, salah satunya itu lah.
Sudah, itu aja. Malam ini aku ingin mensyukuri kehidupanku di titik ini, masih aman dan hangat, tanpa kelaparan atau rasa sakit. Masih bisa menulis serta mengeluh soal patriarki jadi pertanda bahwa aku termasuk orang-orang yang diberi banyak kemudahan. Terima kasih.
Baca juga: CPNS 2024, Perlukan Mendaftar?
0 Comments
Post a Comment