Novel yang berlatar tentang budaya yang asing buat aku emang selalu punya daya magnet yang besar, salah satunya adalah buku Pengantin Pesanan dari Mya Ye. Siapa sangka bahwa buku ini ternyata berisi tentang adat pemesanan pengantin dari laki-laki Taiwan yang menyasar pada perempuan-perempuan Cindo yang ada di Singkawang. Buruknya praktik pernikahan seperti ini di kalangan ekonomi menengah ke bawah ditambah patriarki yang mengakar pada pelakunya membuat masalah jadi begitu rumit.
Kisah Novel Pengantin Pesanan
Kisah di buku ini diawali dengan percakapan di telepon antara Sinta alias Acin dengan anaknya, Ling-Ling, yang ada di Indonesia. Pernikahannya yang kedua membuat dirinya mesti meninggalkan anak pertamanya di Indonesia dan pergi ke Taiwan mengikuti suami barunya. Harapan untuk mengentaskan kemiskinan menjadi alasan utama Acin sehingga dirinya mau menerima tawaran pernikahan keduanya dari laki-laki asing yang gak pernah dia kenal sama sekali.
Apalagi, praktik pernikahan pesanan ini bukannya asing sama sekali di lingkungannya. Teman karibnya sudah melakukan pernikahan ini dan sepertinya semua berjalan dengan baik. Orangtua temannya ini mendapatkan kiriman uang secara teratur, rumah yang buruk kini menjadi lebih bagus, dan adik-adiknya dapat bersekolah tanpa perlu bersusah payah untuk membayar biayanya.
Atas dorongan ibunya, Acin memutuskan untuk menerima tawaran untuk menikah dengan harapan dan doa yang begitu banyak agar semoga saja keluarga barunya di Taiwan memiliki perilaku yang baik dan hangat kepada dirinya. Suami pertamanya yang sudah diceraikannya itu meninggalkan bekas luka yang begitu besar pada Acin. Perilakunya berubah total setelah dirinya melahirkan Ling-Ling. Ia jadi sering mabuk-mabukkan dan memukul sesuka hatinya. Bukan hanya memukul Acin tapi juga Ling-Ling yang masih bayi.
Makanya, meskipun Acin mengalami masa adaptasi yang berat di pernikahan keduanya ini, ia berusaha sangat keras untuk bisa bekerja dengan baik di rumah mertuanya. Suaminya bisa dikatakan tidak seburuk yang pertama. Ia termasuk orang yang lembut dan perhatian, meskipun tidak punya pendirian terutama di hadapan orang tuanya.
Acin kini dipercaya untuk mengelola kedai mi ban tiao yang cukup laris di desanya. Di kedai inilah, Acin merasa begitu hidup. Ia memiliki penghasilan sehingga bisa mengirim uang pada ibunya, anak pertamanya dan adiknya yang ada di Singkawang. Meskipun mertuanya memang keras pada dirinya, tapi semua itu ia telan sendiri agar kehidupan rumah tangga sekaligus penopang kehidupan keluarganya di Singkawang tidak rusak. Lalu, apakah Acin akan menemukan kebahagiaan dari suami keduanya? Silakan dibaca sendiri.
Praktik Patriarki dan Kebencian pada Anak Perempuan
Salah satu hal yang sangat ditonjolkan pada buku ini adalah betapa kerasnya kehidupan seorang perempuan, bahkan sampai sekarang. Salah satu hal yang membuat perubahan perilaku suami Acin yang pertama adalah karena kecewa pada kelahiran anak pertama mereka yang ternyata berjenis kelamin perempuan. Anak perempuan dianggap tidak begitu berharga karena tidak bisa melanjutkan marga keluarga.
Selain itu, beban pekerjaan rumah tangga yang begitu banyak benar-benar menjadi beban anak perempuan, atau bisa dibilang menjadi beban menantu perempuan yang mengikuti praktik pengantin pesanan. Acin benar-benar melakukan banyak hal mulai dari memasak, mengelola kedai makanan, menyapu, membersihkan kamar, sampai ke hal-hal kecil seperti menyiapkan teh bagi mertua laki-lakinya. Uooooo, mak, lelah mak.
Setelah baca buku ini rasanya aku jadi kesal sama laki-laki, it means aku kesal sama suamiku karena dia adalah laki-laki terdekat yang ada di depan mataku. Di hari itu tiap dia menyuruh sesuatu, aku langsung nyeletuk, “Ih, patriarki nih nyuruh-nyuruh terus.” Wkwkwk. (just kidding)
Perasaan Setelah Selesai Membaca
Setelah menyelesaikan buku ini rasanya aku seperti membuka jendela baru. Oh, iya, btw latar cerita praktik pernikahan pesanan yang ada di novel ini benar-benar terjadi, sesuai dengan keterangan di akhir buku ini. Penulisnya melakukan riset dan wawancara pada salah satu perempuan yang pernah melakukan pernikahan pesanan di Singkawang.
Keuangan menjadi alasan utama Acin menerima pinangan dari orang asing, berharap pernikahan menjadi solusi atas kebutuhan finansial yang mencekik. Praktik gini gak jauh beda lah sama orang tua yang menjodohkan anaknya demi mendapatkan keringanan beban finansial. Sedih, sih, tapi ini masih terjadi. Pernikahan di bawah umur jelas menjadi ancaman konflik yang bisa melebar di masa depan, seperti ketidaksetaraan atau yang paling parah kekerasan.
Solusi dari praktek ini ya jelas adalah pemerataan kesejahteraan. Dengan menjadi sejahtera, orangtua tak perlu memaksa anak perempuannya untuk menikah cepat. Tak perlu pula memaksa Acin untuk mau menikah dengan laki-laki asing dari negeri yang jauh. Yah, berat sih, bagaimanapun masalahnya semuanya adalah salah pemerintah, hehehe. Selamat membaca buku Pengantin Pesanan. Aku baca buku ini di app Gramedia.
Pengantin Pesanan. Mya Ye. 340 halaman. Gramedia. 2018
Baca juga: Review Salvation of A Saint, Dosa Malaikat by Keigo Higashino
0 Comments
Post a Comment