Yap, aku menulis ini lantaran belakangan ini lagi keranjingan banget membaca novel cinta di mana karakter cowoknya cukup posesif. Bahkan ada di salah satu cerita, si karakter cowoknya ini menolak permintaan cerai dari istrinya. Ia memilih untuk menerima risiko anak yang dikandung istrinya adalah anak laki-laki lain asalkan istrinya tidak akan meninggalkan dirinya. Nah loh.
Aku sih menyetujui dengan pasti bahwa pasangan seperti ini akan terlihat sangat sweet dalam kisah fiksi. Sosok seseorang yang memiliki kasih sayang setengah mampus sama diri kita emang jadi imaji yang menyenangkan. Tapi, tentunya ini gak berlaku di dunia nyata. Hiks.
Obsesif dan posesif dalam dunia nyata jelas akan membawa banyak petaka, mulai dari memutuskan relasi kita ke orang terdekat, keluarga, sampai orangtua atau teman. Pada akhirnya, ketika semua tali pertolongan lain sudah terputus, kita bisa dirujak sebebasnya oleh pasangan toxic satu ini. Huah, sedih.
Sisi menyebalkan dari pasangan posesif seperti ini biasanya ia selalu bisa memberikan perhatian yang paling manis. Sisi romantis ini yang membuat korbannya jadi percaya setengah mati kalau perlakuan mereka yang kelewat batas dapat dimaafkan karena merupakan khilaf akibat terlalu cinta. Inilah titik manipulatif yang biasanya digunakan.
Kasusnya biasanya gak jauh-jauh dari berantem karena larangan-larangan yang keterlaluan atau karena cemburu tidak beralasan, korban kena ‘hantam’, pelaku minta maaf sampai sujud-sujud, rujuk lagi.
Kalau perilaku toxic pelaku posesif di karakter fiksi biasanya punya resolusi tersendiri yang terlalu bagus untuk jadi nyata, hahaha. Kadangkala karakternya jadi berubah karena cinta, sehingga jadi lebih baik. Posesifnya mereda, ia bisa memberikan cinta tanpa kungkungan, happy ending.
Novel Supernova yang pertama bisa jadi rujukan banget bagaimana sebuah cinta yang melepaskan justru akan membawa pasangan kembali ke jalan yang benar. Novel Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh memang edan sih. Buku ini mengajarkan bahwa tak perlu repot mengurung pasangan dengan hubungan yang ia tidak inginkan. Cinta adalah memberikan kebebasan.
Kembali ke posesif, lantas apakah bisa mengharapkan perubahan perilaku karakter juga di dunia nyata? Nah, kalau ini jawabannya sudah sangat jelas, yakni sesuai dengan quotes yang sering kita dengar: kesalahan paling besar adalah berharap pada manusia. Lalu, bagaimana solusinya? Tinggalkan.
Yah, sebenarnya juga gak semudah itu juga sih. Kalau sudah punya anak, tentu akan ada berbagai pertimbangan. Kalau gak punya harta dan memiliki ketergantungan ekonomi, nah ini juga perlu beberapa pertimbangan tertentu sebelum memutuskan perpisahan.
Banyak kan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sudah dilaporkan ke polisi lantas berujung penarikan laporan. Saya sedih sih ini. Tapi, lebih sedih lagi ketika baca komentar begini:
Orang yang bingung dengan keputusan korban yang mencabut laporan kekerasan di polisi kemungkinan besar tidak pernah merasakan KDRT.
Huah, kalau dipikir kadang emang sebagai korban jadi serba salah dengan keputusan untuk melaporkan pelaku agar jera atau memaafkannya. Kebimbangan yang mendalam ini bisa diperparah dengan tidak adanya dukungan dari orangtua korban atau minimal keluarganya lah.
Pada akhirnya, kita sebagai netizen yang memiliki kehidupan yang tenang dan damai, yang masalahnya hanya bergulat di ranah remeh-temeh sudah semestinya untuk gak terlalu kejam mengomentari kehidupan orang lain.
Baca juga: Review Novel Penganten Pesanan by Mya Ye
0 Comments
Post a Comment