Ayah, hari ini aku dicela atasanku di tempat kerja. Katanya aku gak oke dan payah. Memang benar sih, tapi rasanya dia pun sama payahnya. Ku sumpahi semoga hidupnya banyak batu kerikil: ATM-nya ketelan, sepatunya dikencingi kucing, atau kunci motornya hilang dimainkan oleh anaknya yang masih balita.
Ayah, aku yang sudah tua ini rasanya memahami dirimu yang suka duduk diam di depan rumah sambil merokok. Mungkin kamu lelah, sama sepertiku sekarang. Lelah dengan kondisi pekerjaan yang seperti jalan di tempat, lelah dengan anak yang tak bisa mengerti kelelahanmu, lelah dengan pasangan yang banyak menuntut dan tidak memahami posisimu. Aku pun sekarang duduk di posisimu, menjadi tulang punggung keluarga, merasa lelah dan tidak dimengerti.
Ayah, aku juga ingin membeli sebungkus rokok dan korek api. Menyendiri di depan rumah, berteman dengan nyamuk dan rasa sepi. Dengan hikmat, kamu menghirup asap nikotin yang candu tapi nikmat itu. Kau telan semua rasa pahit itu, lalu kamu lepaskan dalam bentuk asap putih pelepas lara hati. Kamu terima semua makian yang tidak hanya menyakitkan psikismu tapi juga fisikmu secara bersamaan.
Ayah, aku ingin kembali menjadi bocahmu yang kecil dan lucu. Aku ingin menjadi bocahmu yang mengerti bahwa ayahnya sedang lelah sehingga aku tidak ribut untuk minta mainan atau buku yang mahal harganya. Aku ingin menjadi bocahmu yang paham bahwa marahmu adalah rasa lelahmu di kantor, aku ingin mengelus kepalamu dan mengatakan bahwa aku bersedia jadi sampah emosimu dan mengatakan, ”Keluarkan semuanya sampai tidak bersisa”.
Rasanya aneh karena aku sekarang sedang menjadi dirimu: sosok yang tidak tahu cara menyampaikan cinta. Aku dulu benar-benar benci dengan dirimu karena merasa tidak dicintai. Anak-anak memang begitu, mereka bukan hanya harus dicintai tapi juga harus dibuat merasa dicintai. Huah, capeknya.
Sekarang aku memahami betapa melelahkannya harus mencintai dan membuat anak harus merasa dicintai, sementara tangki cinta kita sebagai orangtua pun minim kadang minus. Bagaimana kita bisa melakukan kedua hal itu sementara harus pula menyediakan kebutuhan mereka, memastikan mereka sekolah, dan mesti berinteraksi yang baik pula dengan pasangan? Banyak sekali tugas orang dewasa!
Aku ingin menjadi bocah kecilmu yang sudah paham bahwa meski tidak terasa, meski sulit dipahami, bentakan dan amarahmu adalah cinta. Walaupun komunikasi kita gak bagus-bagus amat karena tiap kali kita mengobrol hanya kritikan saja yang kau sampaikan, itu juga merupakan cinta dan kekhawatiranmu. Ah, sialan, air mataku menetes terus-menerus, mana rokok yang sudah kubeli tadi siang?
Aku paham bahwa dirimu pun mengalami banyak kesulitan saat masih kecil. Kamu pasti dilarang menangis sehingga tidak paham untuk membedakan mana kesedihan, mana amarah, dan mana ketakutan. Kau tumbuh dalam aturan-aturan tak masuk akal untuk menyembunyikan emosi manusia yang alami. Kau tidak punya tempat bersandar, padahal semua orang bisa lelah, bisa salah, dan bisa kalah. Sehingga, rokok menjadi sosok tempatmu bersandar.
Aku masih ingat rokok favoritmu. Rokok ringan yang harganya ada di pertengahan agar pengeluaran bulanan tidak bengkak tapi psikismu senantiasa ada di batas normal. Dokter psikiater mahal, lebih murah merokok dan melamun.
Ayah, harga rokok sekarang sangat gak masuk akal, mahal sekali, beda dengan saat dirimu kecanduan merokok. Aku sekarang hanya merokok sebatang sehari tiap jam 8 malam, berteman nyamuk dan rasa sepi yang menyenangkan. Aku sekarang juga sedang menghisap nikmatnya nikotin dan melepaskan asap putih pelipur lara hati.
Baca juga: Kepunahan Keenam dan Arti Menjadi Manusia
0 Comments
Post a Comment