Gebrakan awal tahun emang ada-ada aja, mulai dari dari makan tempe nanti jadi menteri, demo ASN, sampai suka jeruk yang fenomenal itu. Seperti biasa, aku pun tergerak menulis kali ini adalah karena pembahasan di Twitter tentang kegelisahan hati seorang perempuan yang hendak menikahi pasangan yang sandwich generation.
Punya pasangan yang masih membiayai orangtua emang menyebalkan sih. Kadang, ada aja pos-pos pembiayaan yang terkesan maksa banget sehingga sampai harus menguras tabungan yang kita sendiri aja ngumpulinnya pelan-pelan banget. Uang emang segitu pentingnya dalam pernikahan. Jadi, ketika sudah mengetahui adanya pos pembiayaan ke orangtua secara rutin tiap bulan, tentu ini menjadi poin yang penting dijadikan bahan diskusi sebelum memutuskan untuk menikah.Sekali lagi, semua tergantung orang yang menjalani. Ada orang yang paham prioritas, situasi, dan kondisi, sehingga tidak lagi memaksakan pos pembiayaan ke orangtua tetap sama seperti sebelum menikah. Namun, ada juga yang kurang paham dan perlu diberi pemahaman bahwa ada kebutuhan dan prioritas yang bergeser ketika sudah menikah, apalagi ketika sudah memiliki anak.
Menurut aku, memiliki pasangan yang membiayai orangtua bukan masalah ketika emang gajinya besar. Kalau gaji UMR lebih dikit dan masih ngirim sejuta dua juta, yah pastinya berat untuk bisa menjalankan pernikahan dengan tenang dan damai, kecuali pasangan lainnya juga bekerja dan sudah sepakat untuk membiayai kebutuhan rumah tangga.
Yah, pada akhirnya pernikahan emang tentang kesepakatan. Mungkin bagi keluarga A, gak apa-apa makan gaji istri dan uang suami mengalir ke orangtuanya semua. Mungkin bagi keluarga B, gak apa-apa mengurangi jatah ke orang tua yang penting kebutuhan keluarga inti terpenuhi dulu. Mungkin bagi keluarga C, gak apa-apa ‘jajan’ yang penting gak pake hati. Pada akhirnya, semua adalah tentang kesepakatan.
Menjalani pernikahan emang rumit dan berat. Tidak menjalani pernikahan pun pasti rumit dan berat, pilih rumit dan beratmu sendiri.
Kalau aku pikir-pikir, rasanya ada momen di mana aku ingin sendiri, jadinya kehidupan pasti akan lebih simple dan mudah. Tapi, setelah bertanya dengan temanku yang sudah bercerai ternyata gak juga. Memiliki pasangan sebagai sosok yang dekat dan intim juga merupakan sebuah kenikmatan dan ketentraman tersendiri, meski kita sudah pasti gak akan selalu akur.
Pada akhirnya, aku sudah tidak lagi akan mengomentari kehidupan mana yang benar dan salah. Semuanya sulit, tapi juga semuanya nikmat. Sudah ah, list buku baruku numpuk banget, belum kebaca semua. Bye.
0 Comments
Post a Comment